Thursday, June 01, 2006
Cerita Gempa Yogya
Takut Yang Belum Hilang
Sabtu, 27 Mei 2006, menjadi hari yang tak terlupakan bagi warga Yogyakarta dan Jawa Tengah. Khusus bagi kami, terutama Mbah Putri, Bulik Santhi, Om Yan, Bude Liling dan keluarga, Bude Tuti dan keluarga, Eyang Ani dan keluarga, Eyang Erni dan keluarga, hari itu tak ingin kembali terulang.
Setelah sempat terputus selama dua hari, saluran telepon di kota Yogyakarta sudah bisa digunakan kembali, meski tak jarang tiba-tiba saluran itu terputus. Dari percakapan di telepon itu, keluarga besar kami yang di Yogyakarta menceritakan peristiwa tersebut.
Cerita Mbah Putri yang tinggal di Cokrokusuman, Kelurahan Cokrodinangratan, yang berada di belakang Jalan AM Sangaji, Yogyakarta:
Sabtu, 27 Mei, pukul 05.30, seperti biasa (sejak Mbah Kung meninggal dunia), ibu membuka wartel yang ada didepan rumah. Tidak lama setelah dibuka, ada orang yang akan menelepon. Mbah Putri pun keluar, kehalaman. Sambil menyapu, tiba-tiba Mbah Putri merasa tanah bergoyang.
“Aku pikir darah tinggiku kumat. Trus aku pegangan ke pagar. Tapi kok masih bergoyang. Malah aku sempet jatuh.”
Masih bingung dengan apa yang terjadi, genting rumah dan rumah tetangga berjatuhan. Lampu didalam wartel pun mati. Kekagetan Mbah Putri semakin bertambah ketika ada orang yang berlari-lari sambil berteriak : “Lindu….lindu…”
Bulik Santhi dan Om Yan (yang badannya masih basah karena sedang mandi), berlari keluar rumah sambil berteriak : “Bu gempa….”
Mbah Putri merasa lemas. Tetangga-tetangga juga berlarian menyelamatkan diri. Genting-genting semakin banyak yang berjatuhan. Seluruh warga pun menyelamatkan diri ke satu sekolah yang tidak jauh dari rumah.
Gempa yang guncangannya keras itu berlangsung sekitar satu menit. Setelah menanti beberapa lama, warga Cokrokusuman kembali ke rumah masing-masing. Mereka menganggap gempa telah selesai.
Namun dugaan itu salah, tak lama setelah kembali kerumah. Ketika sedang menonton TV untuk mencari apa ada berita tentang gempa, sekitar pukul 10:00 kembali terjadi guncangan. Bulik Santhi, Om Yan, dan Mbah Putri pun kembali berlarian keluar rumah. Mereka menyelamatkan diri ke sekolah tersebut. Kali ini gempa hanya beberapa detik dan guncangannya tidak sekeras yang pertama.
Tidak sampai disitu, baru saja mencoba bernafas lega, Mbah Putri mengatakan guncangan kembali terjadi. “Yang ketiga gak lama juga, tapi bikin aku gemetaran. Aku pikir, wis aku gak selamat. Aku tiba-tiba inget bapakmu. Rasanya aku mau menangis.”
Mbah Putri pun memutuskan untuk tetap diluar rumah berkumpul bersama warga lainnya. Gedung sekolah itu pun jadi tempat penampungan sementara.
Ketakutan Mbah Putri semakin bertambah ketika pada siang hari, tanpa tahu dari mana datangnya, tiba-tiba ada orang yang berlari-lari sambil berteriak, “tsunami….air….air. Selatan sudah kena tsunami.”
“Aku ketakutan. Sama Iyan, Santhi, aku lari sekenceng-kencenge. Dari arah utara aku lihat orang sudah banyak yang lari menuju selatan. Aku tambah panik, trus ikut lari. Orang-orang lari kearah Karang Jati, aku ikut kesana juga. Sing penting saat itu, aku sama anak-anak selamat.”
Ternyata tsunami hanya isue. Oleh petugas keamanan, para warga disuruh kembali ke tempatnya masing-masing. Mbah Putri sambil menangis ikut kembali pulang. Di kampung, Mbah Putri gak mau masuk kedalam rumah. Mbah lebih senang diluar berkumpul sama tetangga. Sampai malam hari, getaran-getaran kecil masih terjadi. Mbah Putri baru berani masuk kerumah (itupun diruang depan) sekitar pukul 03:00 keesokan harinya.
==================
Cerita Eyang Ani, yang sebenarnya tinggal di Jakarta dan datang ke Yogya dalam rangka pernikahan saudaranya Eyang Agus. Eyang Ani adalah adik perempuan Mbah Kakung almarhum. Eyang Ani menginap dirumah mertuanya, Eyang Uyut Sukamto, yang tinggal di Jetis Pasiraman, gak jauh dari rumah Mbah Putri.
“Waktu gempa itu, kita lagi duduk-duduk. Semua pada kaget dan keluar rumah. Genteng-genteng pada jatuh. Rumah dinding-dindingnya retak-retak. Gempa yang pertama terasa kenceng sekali. Aku pikir Yogya kok bisa gini yah. Waktu getaran kedua, kita lari ke jalan raya AM Sangaji. Disana kita sempat panik dan kaget karena ngelihat orang dari arah selatan yang lari-lari sambil teriak-teriak : tsunami….tsunami. Kita pun masuk kedalam mobil, yang kebenaran lagi di parkir di halaman PKPN. Waktu kita mau pergi, ada orang yang bilang itu bohong. Alhamdulillah.”
Eyang Ani juga cerita bahwa Toko Tung Fong (Toegoe Photo), ini toko serba ada yang sudah lama ada dan terletak didekat Monumen Tugu, pada getaran yang kedua langsung roboh ke tanah. Gak berbentuk sama sekali, tinggal puing-puing. Toko ini terkenal. Orang-orang yang tinggal didekat Tugu, pasti tahu toko ini.
==================
Cerita Bude Liling, yang tinggal di Maguwo Harjo, Gedong Kuning : “Waktu gempa pertama kali, guncangannya keras sekali. Buru-buru tak’ ajak keluar Uli dan Eza, trus naik motor lari kearah jalan raya. Orang-orang juga nyelamatin diri. Setengah jalan, aku inget Rizki (anak Bude Liling yang paling besar). Aku nangis kenapa aku bodoh sampai gak ingat sama dia. Waktu sebelum gempa dia memang sudah mau siap ke sekolah dan kerumah Tuti (adik Bude Liling) gak bilang-bilang. Aku cuma bisa berdoa supaya Rizki selamat.”
Lagi di jalan itu, tiba-tiba dari arah utara orang-orang semakin kencang berlari sambil berteriak-teriak : “Air…air…Tsunami…air, tsunami. “Semua orang nyelematin diri ke daerah yang tinggi. Tak’ lihat, jembatan layang Janti udah penuh sama orang, motor, mobil. Aku gak bisa masuk kesitu, jadi aku ambil jalan bawah trus kearah Bandara Adi Sucipto. Aku gak tau kalau Adi Sucipto rusak, yang penting saat itu selamat”.
Setelah gempa berlalu, Bude Liling, Mas Uli dan Mas Eza, kembali kerumah. Meski cuma sebentar didalam rumah (karena takut), Bude Liling lihat ada dinding rumah yang retak. Gak lama Mas Rizki datang bersama Bude Tuti, yang menyelamatkan diri ketengah sawah, yang kebetulan masih banyak disana. Oh ya, toko Pakde Agus yang ada di jalan raya Maguwo Harjo, kacanya pecah semua dan gentengnya ambrol, jadi toko tutup sampai waktu yang tak terhingga.
================
Cerita Eyang Erni, yang tinggal di Klaten.“Puji Tuhan, kami gak apa-apa,” cerita Eyang Erni via telepon. “Rumah juga gak kenapa-kenapa, mungkin karena wilayahnya sudah deket ke Solo. Yang parah itu di Klaten Bayat. Banyak rumah yang roboh dan hancur. Waktu gempa yang pertama kita semua keluar rumah. Sempet khawatir juga karena katanya di Yogya ada tsunami. Aku pikir bakal kena disini juga, tapi ternyata itu isue.”
Gempa yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah itu, menyisakan trauma buat keluarga besar kami. Hingga sekarang, mereka tak mau berlama-lama didalam rumah, tidur masih diruang depan tak mengunci pintu, dan yang paling memilukan adalah jika mendengar suara-suara kencang seperti motor atau mobil lewat atau orang berteriak-teriak, keluarga kami masih suka terkaget-kaget.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment