Monday, May 29, 2006

Cerita Keluarga

Kala Libur Berubah Bencana


“Gempa di Jogya barusan.
Qta msh siap diluar semua.
Kenceng, smua genteng melorot n pecah, listrik mati.

Sender :
Santhi
+681726xxxx

Sent :
06:00:49
27-05-2006

06:10
027455xxxx
“Halo…..
“Halo, gak jelas mas…..
klik….Putus

081726xxxx
“Halo, piye San ?
“Baru aja gempa mas, kita diluar semua nih !

“Ibu mana ?
Piye bu ? Orra opo-opo tho.
Rumah gak usah dipikirin, sing penting selamet.

……. Klik, putus.

“Kata Ibu, gempanya kenceng. Iyan (adik bungsu ayah), pas mandi, airnya tumpah dari bak.
Listrik mati, air PAM mati.
Genteng rumah ambrol, ” cerita Ayah.

Ibu dan Kak Lily, cuma bisa bengong.

Nyalain TV, belum ada berita tentang gempa di Yogya.

“Ayah mau pulang?” tanya Ibu.
“Belum tahu, lihat perkembangan,” kata Ayah.

Sekitar pukul 06.30. baru ada berita gempa Yogya di Metro TV.
Karena kami pikir gempanya hanya sekali dan tidak ada masalah, maka Ayah yang hari itu rencananya pergi ke Daan Mogot untuk memperpanjang SIM, memutuskan tetap pergi.
Ibu pun mengantar Kak Lily ke sekolah.

10:30
Sepulang mengantar Lily ke sekolah.

“Tadi ada telepon dari teman kantor Ibu, tanya tentang keluarga di Yogya,” kata Mbak Iyah.

“Siapa namanya,” tanya Ibu.
“Lupa, tapi namanya keren,” jawab Mbak Iyah.

Ibu senyum-senyum.
Nyalain TV, cari-cari tentang berita gempa Yogya, ternyata di Metro TV, berita gempa Yogya sangat hebat. Diberitakan sampai 5,9 skala Richter.

Kring….kring…
“Halo bu, coba telepon ke Yogya, kayaknya gempanya parah.
Jangan lupa telepon Mbak Liling, Mbak Tuti, Bude Erni,” kata Ayah dari seberang telepon.

“Iya, Yah.” Klik….putus.

Handphone berbunyi. Ada sms masuk :
“Germpa susulann, qta dah kumpul diluar terus.
Siap ngungsi.

Sender
Santhi
+62817225xxxx

Sent :
10:26:00
27-05-2006.

027455xxxx…….tut….tut…tut (seperti nada sibuk)
027444xxxx…….tut…tut…tut….
08568xxxxx……..tut….tut….tut….
081726xxxx……..tut…tut……tut

Semua telepon keluarga di Yogya, Maguwo, dan Klaten, sibuk.

Rasa cemas pun mendera.
Telepon HP ayah, ternyata mati. Kesel.

Satu persatu telepun dari keluarga di Jakarta berdatangan menanyakan keadaan keluarga di Yogya.

Kita semua menonton TV, karena saat itu hanya Tvlah yang bisa memberi tahukan keadaan Yogya.
Sedih dan khawatir melanda, ketika melihat betapa parahnya gempa yang terjadi.

“Bu, kenapa kita gak pulang. Kasihan Mbah Putri, Om Yan dan Bule Santhi,” kata Lily.
“Gak bisa kak, disana bahaya,” jawab Ibu.

Gempa itu apa sih Bu?” tanya Lily.
“Gempa itu tanahnya goyang-goyang, trus bisa bikin rumah roboh,” jawab Ibu.

“Rumah Mbah roboh dong bu.”
“Gak, Alhamdullilah, kata bule Santhi, cuma genteng aja yang ambrol.”

Mbak Iyah, yang kampungnya asal Temanggung dan punya keluarga juga di Yogya, ikut bergabung nonton TV.

Ibu mencoba menghubungi kembali keluarga-keluarga di Yogya, Klaten, dan Maguwo. Hasilnya nihil.
Benar-benar gak ada yang bisa dihubungi sama sekali.

Kabar hanya bisa tahu dari TV. Diberitakan gempa di Yogya itu sangat kuat dan terasa hingga ke Solo, Semarang bahkan ke Surabaya. Korban tewas sudah semakin banyak. Yang luka-luka tak terhitung. Rumah-rumah banyak yang roboh. Rumah sakit kebanjiran pasien.

Waktu terasa panjang, hanya doa yang bisa dipanjatkan, agar bencana itu segera berakhir dan semoga keluarga serta seluruh warga Yogya, selamat selalu..

Tiba-tiba datang tetangga, yang kebetulan orang Yogya dan oran tuanya tinggal di Prambanan, tepatnya di belakang Candi Prambanan.

“Mbak Indah, gimana keadaan keluarga di Yogya. Rumahku roboh mbak, bapak dan simbok ngungsi ke sawah. Keponakanku kena kakinya. Candi Prambanan banyak yang rusak,” katanya.

Duh semakin sedih. Apalagi nonton TV, disebutkan korban tewas sudah mencapai angka 1.000 orang. Kota Yogya porak poranda, Bantul, Klaten, dan sebagian Sleman hancur. Di Malioboro dan Jalan Solo, banyak toko-toko yang kaca dan bangunannya rusak. Bandara Adi Sucipto, roboh hingga jadwal penerbangan banyak yang dialihkan dan ditunda.

Ingat Mbak Liling, yang rumahnya di Maguwo, dekat bandara, gimana keadaannya tapi tak bisa dihubungi.

Plaza Ambarukmo dan Diamond Square, yang baru Desember 2005 kemarin, dioperasikan, bagian depannya rusak dan kaca-kaca pecah.

13: 55
0856xxxx
tut…..Halo Mas.
Ini mbak Indah, Yan. Ibu mana ?
Ibu dirumah mbak, saya lagi di pom bensin, ngantri nih.
Gimana keadaannya ?
Selamat mbak, tapi semua diluar semua gak berani masuk rumah.
Kok telepon gak bisa dihubungi ?
Salurannya kayaknya putus mbak….. klik, putus !

Kembali putus.
Detik demi detik
Hanya menghitung menit dan jam.

15:10.
Ayah sampai rumah.

“Teleponnya pada gak bisa dihubungi yah.”
“Pasti saluran teleponnya putus. Mbak Liling gimana ?
“Gak bisa dihubungi juga. Telepon Mas Syafei aja mungkin tau kabarnya, kan ada di Karawang.”

08184xxxx
“Halo mas, gimana ? Udah dapat kabar dari Mbak Liling.
Teleponnya kok gak bisa dihubungi yah ?
Oh gitu. Mas kapan pulang ?
Mungkin saya juga pulang naik kereta aja atau bis.”

Selesai.
“Kata Mas Fei, Mbak Liling dan anak-anak selamat. Cuma rumah, dindingnya retak-retak. Tetangganya malah kiri kanan ada yang rumahnya roboh. Kalau Mbak Tuti, belum tau kabarnya. Kayaknya, kata Mas Fei, teleponnya gak bisa dihubungi tapi tadi sempet bisa keluar.”
“Trus Mbak Lilingnya dimana sekarang ?” tanya Ibu.
“Nah itu, Mas Fei aja gak tahu ngungsi dimana. Katanya, belum selesai bicara, telepunnya putus.”

Duh.
Waktu semakin terasa panjang.
Gak ada kabar berita, kecuali dari TV, yang beritanya semakin mengkhawatirkan.
Ayah tampak berkaca-kaca matanya.
Kata Ayah, sepanjang umurnya, baru kali ini melihat kota kelahirannya porak poranda.
Ayah tampak sedih, karena disaat keadaan memprihatinkan ini, ia tidak bisa bersama ibu dan adik-adiknya.

“Kalau bapak masih ada, gimana yah menyelamatkannya. Bapak kan gak bisa bangun,” kata ayah tiba-tiba teringat almarhum Mbah Kakung.

“Iya betul. Semua ada hikmahnya. Tapi kalau bapak masih hidup dan sehat, pasti bapak jadi orang yang paling sibuk,” ucap Ibu yang teringat bahwa semasa hidupnya, Mbah Kakung merupakan orang yang paling aktif di kampung. Tidak hanya masalah kegiatan-kegiatan kampung, tetapi juga urusan suka cita dan duka cita, bapak gak pernah segan-segan turun tangan untuk terlibat.

Ayah bingung, antara mau pulang dan menunggu kabar saja.
Ibu bilang, kalau mau pulang yah pulang, gak usah ragu-ragu.

Pukul 19.30
0856xxxx
“Hei, Yan, gimana,” tanya Ayah sama Om Yan, diujung telepon.
“…….”

Cerita Ayah :
“Pada belum berani masuk kerumah. Masih diluar ngumpul. Kata Mbah Putri, mungkin tidur diluar atau diteras. Tetangga-tetangga juga pada diluar rumah.
Tadi sempet ada isu tsunami, Mbah Putri Cuma pakai daster, begitu dengar ada tsunami langsung lari kearah Monjali. Yang penting kedaerah atas dan selamat.”

“Kata Mbah, untung kita gak jadi pulang ke Yogya. Kalau gak kasihan anak-anak, gak tau mesti tidur dimana. Semua orang gak berani ada didalam rumah”

Hari itu terasa sangat mencekam, panjang, dan was-was terus mendera. Karena memikirkan keluarga yang tidur diluar, kita semua gak bisa tidur hingga pukul 02 pagi. Kak Lily saja yang anak kecil, ikut merasa khawatir dan baru tidur pukul 22.00. Sebentar-sebentar, Lily ganti channel TV buat lihat berita Yogya.


Namun dibalik itu semua, hikmah dapat kita petik : Tuhanlah penentu semuanya. Tapi yakinlah Tuhan ada dimana-mana. Alhamdulillah keluarga kami selamat (Tapi belum tau kabar dari Bude di Klaten, Mbak Liling di Maguwo dan Ipin ---- adik sepupu Ayah yang yatim piatu di Wates). Doa kami panjatkan buat warga Yogya yang menjadi korban.(akan berlanjut....)




No comments: